Berawal dari obrolan di situs jejaring sosial Twitter, Indonesia Berkebun kini membentang sayap di 25 kota dengan puluhan ribu anggota. Benar, Ridwan Kamil, seorang arsitek memulai lewat percakapan santai dengan teman-teman dan para follower-nya di situs jejaring sosial Twitter, tentang bagaimana menciptakan Indonesia yang lebih hijau. Ia lalu melontarkan gagasan: menanam di lahan 1 ha di Kemayoran, Jakarta Pusat, tak jauh dari lokasi proyek yang tengah digarapnya.
Mereka pun sepakat bertemu. Obrolan intens sejak Oktober 2010 terealisasi antero Desember 2010, yaitu dengan membuat kebun perkotaan, dengan menanam aneka sayur-sayuran. “Kami bukan ahli di bidang pertanian, jadi diskusi makan waktu agak lama,” kata Sigit Kusumawijaya, salah satu penggiat kelompok nirlaba Indonesia Berkebun.
Diskusi berlanjut di dunia maya. Obrolan mereka, karena dilakukan melalui Twitter, banyak yang menguping dan tertarik untuk bergabung. Hingga tiba saat tanam perdana, jumlah peminat membludak. Bahkan, blog mereka, yang menjadi “loket” pendaftaran, sempat jebol saking banyaknya [pendaftar. “Bayangkan, dalam semalam 6.500 orang mengakses situs secara bersamaan,” kata pria yang berprofesi sebagai arsitek dan perencana kota profesional ini, mengenang.
Visi Indonesia Berkebun sederhana saja. Bergerak melalui media jejaring sosial, mereka menyebarkan semangat positif untuk lebih peduli kepada lingkungan dan perkotaan dengan program urban farming.
Semakin banyak warga perkotaan yang bertanam, akan memberi dampak positif bagi lingkungan. Itulah yang diyakini Sigit. Selain itu, juga memberi manfaat bagi banyak segi.
“Dengan diajak berkebun, warga kota akan memiliki ruang publik baru,” kata dia. Mengelola kebun secara bersama, katanya, akan mempererat persatuan warga. Kebun dikelola bersama dan hasilnya pun dinikmati bersama.
“Mereka mendapatkan sayur langsung dari kebunnya, tanpa perlu menggunakan transportasi yang akan menimbulkan banyak jejak karbon di bumi kita,” katanya. Menurut Sigit, banyak manfaat bertanam. Selain menyediakan pangan yang sehat, juga turut melestarikan lingkungan.
Bertanam, katanya, bukan pekerjaan yang rumit dan butuh keahlian khusus. Siapapun, katanya, bisa menekuninya asal ada kemauan. Ia mencontohkan, banyak anggota Indonesia Berkebun yang kemudian memutuskan untuk bertani sebagai bentuk pasive income mereka. “Hasilnya lumayan,” katanya.
Bagi mereka yang ingin mempelajari cara berkebun, melalui Akademi Berkebun para aktivis Indonesia Berkebun akan memberikan bimbingan. Tak hanya itu, benih pun bisa diperoleh dengan cuma-cuma. “Mereka bisa bertanam dengan media apa saja, di lahan yang sangat terbatas sekalipun,” katanya.
Hingga kini, jumlah anggota Indonesia Berkebun berjumlah ribuan, tersebar di berbagai kota di Indonesia. Akun Twitter mereka diikuti oleh sekitar 10.435 orang. Sebanyak 25 organisasi nirlaba yang sama-sama menyerukan semangan ber-urban farming kini berafiliasi dengan mereka.
Bagaimana dengan penyuluhan kita sekarang? ini patut menjadi inspirasi dalam penyuluhan, karena target penyuluhan bukan para petani, yang memang telah bertani juga, tapi target penyuluhan sekarang juga generasi muda yang tidak gaptek lagi, mereka rata-rata punya facebook, twitter dan blog. Mari budayakan menyuluh lewat dunia maya.
Posting Komentar