Menyikapi peristiwa, ketika masyarakat Tanjung Raya menggugat pemerintah atas kerusakan lingkungan Danau Maninjau. Dimana mereka menuntut Pemerintah Daerah Kabupaten Agam atas kerusakan, sawah, kolam pinggir danau, kolam jala apung dan keramba mereka. Begitu juga atas kerusakan lingkungan danau atas keberadaan PLTA.
Sebagai orang yang beriman dan beagama, ketika dasar akidah kita telah mengatakan “tidak akan terjadi kerusakan dimuka bumi, kecuali atas perbuatan mereka sendiri” begitu juga “tidak akan berubah suatu kaum, kecuali atas usaha mereka sendiri”
Untuk mencari solusi kerusakan Danau Maninjau tidak akan selesai dengan saling tuntut, apalagi kalaupun menang, hasil ganti rugi akan dibagikan kepada masyarakat yang merasa dirugikan, lalu kapan dan kemana nasib lingkungan Danau Maninjau yang rusak itu setelah kasus ini dimenangkan (seandainya)?
Alangkah baiknya kita mencari solusi bersama, usaha mengatasi kerusakan lebih lanjut dan berupaya memperbaiki kerusakan tersebut. Sampai dimanalah dana Rp. 1 Triliun, kalaupun kita dedikasikan seluruhnya untuk memperbaiki lingkungan Danau Maninjau, tidak akan begitu berarti. Untuk itu, sebelum mencari solusi untuk jalan keluarnya, mari kita lihat bagaimana kearifan penduduk Salingka Danau Maninjau tiga - dua dasawarsa yang lalu.
Pola penggunaan lahan
(a) Pertanian
Daerah Maninjau didominasi hamparan areal usahatani menetap, yang terdiri dari dua bentuk yang utama. Pertama, budidaya padi pada sawah irigasi yang tersebar di teras danau dan dasar lereng, meliputi 13 sampai 75% lahan pertanian pedesaan (atau 3,5 sampai 30% dari tanah pedesaan). Produksi padi terutama untuk konsumsi sendiri, tetapi di beberapa desa terdapat kelebihan yang dijual. Panen umumnya dilakukan sekali sampai tiga kali setahun tergantung dari ketersediaan air dan tenaga kerja.
Di antara dua masa tanam sawah juga ditanami sayuran seperti cabai, terong, dan mentimun. Kedua, kebun pepohonan campuran berupa agroforest yang terletak pada lereng-lereng di antara desa dan kawasan hutan lindung. Kebunkebun ini oleh penduduk Maninjau disebut parak, mencakup 50 sampai 88% keseluruhan lahan pertanian (13 sampai 33% dari keseluruhan lahan). Parak memiliki keanekaragaman spesies dan kerapatan pohon yang tinggi serta struktur vertikal yang kompleks dan berlapis-lapis.
Agroforest parak menghasilkan aneka hasil hutan baik untuk dijual maupun untuk kebutuhan rumah tangga termasuk kayu bangunan, kayu bakar, dan hasil-hasil non kayu seperti buah dan sayuran hutan, obat, dan lain-lain. Parak ditanami juga dengan tanaman pertanian komersil seperti kulit manis, pala, kopi, dan buah buahan, serta tanaman musiman seperti cabai, umbi-umbian, dan kacang-kacangan.
Pola produksi dan regenerasi spesies mirip dengan yang terjadi pada ekosistem hutan alam, campur tangan manusia hanya terbatas pada pemetikan hasil dan aktivitas penanaman dan perawatan sebagian kecil spesies saja. Selain parak ada juga kebun pekarangan di sekitar pemukiman yang merupakan komponen minor kawasan budidaya, tetapi tidak semua rumah memiliki kebun pekarangan. Lahan pekarangan umumnya ditanami tanaman hias (di muka rumah) dan pohon buah-buahan komersil yang karena alasan keamanan tidak ditanam di lereng.
Ternak yang umum dipelihara adalah ayam dan domba atau kambing. Di beberapa desa juga dipelihara kerbau untuk dipekerjakan di sawah. Lereng-lereng daerah Maninjau didominasi dua bentuk sistem usahatani utama, yakni sawah beririgasi yang meliputi 13-50% lahan pertanian pedesaan dan agroforest parak yang mencakup 50-88% lahan pertanian pedesaan. Agroforest parak pada umumnya didominasi pohon durian, memiliki keanekaragaman spesies dan kerapatan pohon yang tinggi, serta struktur vertikal yang kompleks dan berlapis-lapis.
(b) Hutan
Tidak ada hasil hutan yang diambil penduduk dari hutan alam, kayu untuk bangunan dan kebutuhan umum tersedia di kebun. Sebagian besar hutan alam berada di atas ketinggian 900 m dpl pada lereng-lereng yang sangat terjal yang berstatus kawasan hutan lindung yang dikuasai pemerintah. Penetapan status sebagai kawasan hutan lindung dimulai sejak zaman kolonial Belanda, tetapi batas-batas kawasan telah sedikit dimekarkan mulai beberapa tahun yang lalu oleh petugas kehutanan untuk tujuan perlindungan hutan. Menurut undang-undang, pengambilan kayu dan rotan dari dalam kawasan hutan dilarang keras.
(c) Danau
Danau dimanfaatkan untuk usaha penangkapan ikan terutama di bagian selatan dan barat kawah. Ikan ditangkap untuk konsumsi sendiri dan dijual di pasar-pasar setempat. Jenis ikan khas danau Maninjau, yaitu palai rinuak dan satu spesies remis kecil (pensi) dijual ke luar desa.
Sekarang
Begitulah sekilas tentang kehidupan masyarakat salingka Danau Maninjau sampai tahun 80 an. Danau belum begitu diekploitasi. Mungkin generasi tersebut tahu, bahwa Danau Maninjau memiliki keterbatasan, sehingga tidak dapat di bebani sebagai pegangan kehidupan.
Seiring berjalannya waktu, hasil perkebunan bukan primadona lagi, maka Danau Maninjau menjadi sasaran empuk untuk di eksploitasi. Sekarang sebagaiman diketahui, keramba jala apung telah membebani Danau, pernahkan pengusaha kita itu melakukan AMDAL sebelum menambah dan menambah KJA? Sedangkan ketika PLTA didirikan, telah dilakukan kajian AMDAL yang matang.
Sudahkan kita mengembangkan semua itu dengan memperhitungkan daya dukung Danau itu sendiri? Karena ikan itu perlu bernafas, sudah mendukungkah kadar oksigen dalam air danau untuk kapasitas ikan yang semakin hari semakin bertambah, baikkah pakan yang diberikan untuk lingkungan, karena pakan yang diberikan adalah hasil pengolahan kimia, dll.
Banyak memang masalah, dan kajianpun selama ini cenderung tidak menyeluruh, tergantung kepada siapa yang “mengorder” si peneliti, tapi yang pasti dari fakta dan dari sudut pandang orang awam saja, mari kita kaji sedikit masalah di danau yang kita banggakan ini.
1. Sistem pertanian yang dilakukan telah begitu optimal, dengan menggunakan pupuk, racun dll, kalau dilihat semua jalur air salingka Danau bermuara ke danau ini, maka dapat dibayangkan berapa banyak sisa-sisa pupuk, racun dana bahan kimia lainnya dari usaha pertanian yang telah menumpuk di dalam Danau tersebut?
2. Pengembangan KJA yang begitu intensif, dengan menggunakan pakan bauatan, yang sangat diyakini, tidak akan termakan seluruhnya oleh ikan, maka sudah berapa pula yang tertumpuk di dasar danau?
3. Belum lagi limbah manuasia, yang semakin banyak di salingka danau maninjau ini.
Melihat hal diatas, maka alangkah baiknya kita menyarankan dengan beberapa pertimbangan:
1. Keunikan asal muasal Danau Maninjau alamnya (yang merupakan Danau Vulkanik)
2. Memiliki banyak spesies lokal yang endemik
3. Sekeliling Danau Maninjau yang rawan bencana alam
4. Tidak adanya dana untuk memperbaiki kerusakan
5. Kurangnya sarana prasarana dan personil
6. Sekeliling Danau Maninjau telah berstatus Hutan Lindung
Alangkah baiknya pengembangan dan pembangunan di Danau Maninjau untuk dapat dibatasi, tidak harus dikembangkan sebagaimana daerah yang yang lingkungannya mendukung untuk dieksploitasi secara besar-besaran. Kami mengusulkan untuk Kecamatan Tanjung Raya ini dijadikan Cagar Biosfer saja, karena dengan dijadikan cagar biosfer, pemerhati dan banyak stakholder akan memberikan perhatian kepada Danau Maninjau ini, sehingga pendanaan dan sarana prasarana akan lebih mudah didapatkan.
Cagar Biosfer adalah situs yang ditunjuk oleh berbagai negara melalui kerjasama program MAB-UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan, berdasarkan pada upaya masyarakat lokal dan ilmu pengetahuan yang handal. Sebagai kawasan yang menggambarkan keselarasan hubungan antara pembangunan ekonomi, pemberdayaan masyarakat dan perlindungan lingkungan, melalui kemitraan antara manusia dan alam, cagar biosfer adalah kawasan yang ideal untuk menguji dan mendemonstrasikan pendekatan-pendekatan yang mengarah kepada pembangunan berkelanjutan pada tingkat regional.
Posting Komentar