"BELILAH LAHAN, MEREKA SUDAH TIDAK DIBUAT LAGI"

Senin, 19 November 20120 komentar

Dipicu oleh lonjakan harga pangan global menjelang akhir dekade pertama tahun 2000, sejumlah bangsa makmur yang bergantung pada impor pangan mulai membeli sejumlah besar lahan di negara berkembang untuk produksi pertanian dalam rangka mencapai ketahanan pangan mereka sendiri. Seiring dengan munculnya pasar biofuel, kehutanan berbasis hutan tanaman dan meningkatnya perluasan komoditas tanaman seperti kelapa sawit, sejumlah besar kawasan hutan global telah dialihkan dari kontrol negara menjadi kepemilikan swasta, dimana seringkali terambil pula sumber daya hutan berharga dalam prosesnya, khususnya kayu. 

Sementara fenomena yang dikenal dengan “penyerobotan lahan” terus berlanjut, suatu gerakan samar dan secara etis bisa dipertanyakan, telah mencapai momentumnya. Sejumlah besar lahan di dunia telah dialihkan untuk agenda lingkungan, sebuah proses yang menarik sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional yang berpengaruh. JurnalisGuardian John Vidal menggambarkan pendekatan baru konservasi ini sebagai “penyerobotan hijau”. 

Pada ringkasan dari edisi khusus terbaru Journal of Peasant Studies, James Fairhead dan koleganya mencatat meningkatnya “penyerobotan hijau” dan bagaimana sektor lingkungan dipengaruhi oleh bagaimana alam dipersepsikan dan dikelola. Mereka menyajikan analisis yang dapat dipahami tentang sejauh mana sektor lingkungan telah melangkah dan merangkul ekonomi pasar, baik untuk karbon, keanekaragaman hayati maupun jasa ekosistem. 

Usaha untuk menjadikan alam sebagai komoditas telah menunjukkan sebuah tren global menuju neoliberalisme, dimana pasar menentukan dan mendikte apa yang harus kita hargai dan apa yang tidak. Pada akhirnya, pembayaran untuk jasa lingkungan (PES), Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) dan sejumlah inisiatif yang dipicu oleh keuangan telah diarusutamakan ke dalam agenda konservasi. 

Meningkatnya peran alam sebagai sumber keuntungan telah menyatukan perusahaan, pemerintah yang kaya lahan, industri perbankan, LSM konservasi internasional, dan komunitas donor yang memiliki sejumlah visi yang berbeda. Dengan makin hilangnya kepercayaan terhadap industri keuangan global serta resesi yang ditimbulkannya, adalah sesuatu yang mencengangkan bahwa keprihatinan bersama kita akan lingkungan hidup dipengaruhi oleh kebutuhan untuk mengintegrasikan pasar karbon dan berbagai komoditas alam yang lain ke dalam arus utama ekonomi. Nampaknya ini akan merupakan pembicaraan terkait uang. Benarkah demikian? 

Sayangnya, sejumlah pendekatan berbasiskan keuangan, sebaik apapun diniatkan, cenderung menginjak-injak hak masyarakat setempat. Pengambilalihan lahan tanpa pengetahuan sepenuhnya tentang hak kepemilikan adat yang telah dinikmati oleh penduduk pedesaan selama berabad-abad akan memiliki implikasi negatif bagi penghidupan. Meskipun sejumlah pendekatan berbasiskan hak untuk “meminimalkan kerugian” masyarakat setempat secara konseptual telah maju, kenyataan di lapangan seringkali berbeda. Oleh karena itu tercatat sejumlah resistensi terhadap inisiatif-inisiatif PES/REDD oleh masyarakat asli yang telah dilanggar hak atas lahannya dan yang telah terganggu penghidupannya. 

Keluaran utama dari Rio +20, di mana “ekonomi hijau” dipandang sebagai pusat dalam agenda pembangunan berkelanjutan, telah diperparah dengan persepsi bahwa solusi berbasiskan pasar merupakan obat mujarab untuk permasalahan lingkungan hidup di dunia. Sebagai akibatnya, beberapa berpendapat bahwa nilai instrinsik dari alam dan penghormatan untuk penghidupan dan sistem pengetahuan lokal telah pudar dan semakin mengarah menjadi berbagai pendekatan berbasiskan pasar yang berpengaruh.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. SMILe NEWSPAPER - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger