Padang Ekspres • Selasa, 29/01/2013 12:12 WIB
Bumi Minangkabau kembali dirundung duka. Hingga Tajuk ini ditulis tadi malam, 14 jasad yang tertimbun longsor di Jorong Data, Kampung Dadok, Kenagarian Sungai Batang, Kecamatan Tanjungraya, Kabupaten Agam, telah berhasil dievakuasi Tim Search and Rescue (SAR). Enam orang lagi diduga masih tertimbun longsor. Kepada para Tim SAR dan relawan dari berbagai organisasi, yang bersitungkuslumus melakukan pencarian korban, patut kita apresiasi sebesar-besarnya dalam melaksanakan tugas kemanusiaan itu.
Bagi makhluk berakal, tentu kita dituntut mengambil hikmah di balik musibah longsor ini. Alam memberikan pesan kepada kita betapa negeri yang subur ini, menyimpan potensi bencana yang sewaktu-waktu siap mengancam. Inilah konsekuensi logis bagi penduduk di kawasan ring of fire (cincin api), di samping ”campur tangan” Sang Khalik di setiap helai daun yang jatuh di planet bumi ini.
Selain anugerah, negeri cincin api yang kaya raya ini, bisa menjelma menjadi kutukan bila tidak dikelola dengan baik oleh penduduknya. Negeri cincin api menuntut penghuninya bersahabat dengan alam. Hidup berdampingan dengan bencana. Kesadaran inilah yang melahirkan kearifan lokal nenek moyang kita belajar dari alam takambang menjadi guru.
Tidaklah elok memang, bila di saat bencana kita saling mencari kambing hitam siapa yang salah. Namun begitu, tidak juga bijak jika bencana yang terus berulang ini dibiarkan berlalu begitu saja tanpa mengevaluasi diri. Malu kita dengan keledai, meski diidentikkan dengan binatang bodoh, tapi tidak ingin terantuk di lubang yang sama.
Setelah empat setengah tahun gempa 30 September 2009, sedianya cukup bagi kita berupaya memantapkan kemampuan adaptasi, antisipasi dan mitigasi bencana alam. Kita semua tahu bahwa gempa besar 7,9 skala Richter itu, telah membuat tanah perbukitan di Sumbar labil. Negeri yang dikelilingi gugusan Bukit Barisan ini, tidak lagi kokoh berdiri. Artinya, ancaman longsor akan senantiasa mengintai penduduk Sumbar.
Kita mengacungkan jempol terhadap upaya pemerintah (Sumbar dan pusat) yang cepat tanggap memetakan daerah rawan bencana alam (gempa/tsunami, longsor, banjir) beberapa saat setelah gempa 2009 terjadi. Peta zona merah pun telah diluncurkan. Akan tetapi, usaha itu seolah menjadi sia-sia jika tidak tersosialisasikan dengan baik dan masif di tengah masyarakat. Tidak banyak gunanya bila penduduk yang tinggal di zona merah, tidak mengetahui berada di daerah rawan bencana.
Setelah memetakan zona merah, lalu apa? Secara empirik, dari pantauan Padang Ekspres dan rangkuman pendapat masyarakat di daerah rawan bencana, belum memiliki kesadaran bahwa mereka hidup di daerah ”swalayan bencana”. Tak heran, ini terlihat dari perilaku masyarakat kita yang belum mengarah pada penguatan kemampuan adaptasi dan mitigasi bencana. Sebaliknya, tindak tanduk masyarakat dan kebijakan pemerintah daerah justru terkadang tidak bersahabat dengan alam.
Harus diakui, meski terkesan masih relatif lamban, pemerintah (Sumbar dan pusat) selama ini lebih berkutat mempersiapkan kemampuan mitigasi gempa dan tsunami di daerah pesisir pantai, tapi lupa menyiapkan diri menghadapi ancaman bencana longsor, galodo, banjir dan kebakaran. Akibatnya, kita selalu kedodoran dalam mengantisipasi dini dan menangani bencana longsor dan banjir yang nyaris mengepung Sumbar akhir-akhir ini.
Pemerintah Sumbar boleh saja mengklaim relatif lebih bagus dalam hal manajemen bencana secara nasional. Tapi faktanya, selama itu pula bencana alam bertubi-tubi melanda Bumi Minangkabau. Apa gunanya penghargaan nasional yang diterima sejumlah kepala daerah di Sumbar, bila kondisi riil sistem peringatan dini, tanggap darurat bencana hingga penanganan pascabencana, tidak seindah di atas kertas dan gemerlap panggung penghargaan.
Kini alam telah mengabarkan pesan. Bila belum percaya juga, silakan tanya ke rumput yang bergoyang.(*)
Posting Komentar