Narkoba kian menjadi mesin pembunuh yang nyata bagi negeri ini. Saban tahun, jumlah pengguna barang haram itu meningkat sangat signifikan.
Hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Puslitkes Universitas Indonesia serta berbagai universitas negeri terkemuka belum lama ini menunjukkan prevalensi pengguna narkoba terus naik. Pada 2012 bahkan diperkirakan sudah mencapai 2,8% atau setara dengan 5,8 juta penduduk.
Angka prevalensi itu menunjukkan peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah pengguna narkoba pada tahun-tahun sebelumnya. Pada 2005 terdapat 1,75% pengguna narkoba dari jumlah penduduk di Indonesia.
Prevalensi itu naik menjadi 1,99% dari jumlah penduduk pada 2008. Tiga tahun kemudian atau pada 2011, angkanya sudah mencapai 2,2%.
Narkoba juga masuk ke hampir semua institusi dan kalangan. Dari rakyat biasa hingga pesohor, dari institusi pendidikan hingga penegak hukum, narkoba bisa menjangkaunya.
Namun, hukum seperti kedodoran untuk melawan musuh mematikan itu. Ribuan orang dari berbagai kalangan telah ditangkap, tetapi tunas-tunas baru pengguna narkoba terus bermunculan.
Kasus penggerebekan rumah artis dan presenter Raffi Ahmad, yang diduga dijadikan tempat berpesta narkoba, membuktikan pemberantasan narkoba belum juga membuat jera. Sejumlah orang dinyatakan positif mengonsumsi narkoba. Kasus itu menambah panjang daftar pesohor yang gemar mengonsumsi narkoba.
Bahkan, seorang hakim Pengadilan Tinggi Aceh, Iskandar Agung, kembali ditangkap polisi awal pekan ini. Polisi menyita barang bukti sabu dalam jumlah besar dari tangan Iskandar, 24,1 gram.
Iskandar pernah ditangkap juga saat masih menjadi hakim di Pengadilan Negeri Takengon, Aceh, pada 2010. Ketika itu, ia ditangkap karena memakai sabu.
Ada sejumlah sebab mengapa pedang yang digunakan untuk memerangi narkoba tumpul. Di antaranya ialah kita tidak pernah bersungguh-sungguh mengasah pedang itu dan menggunakannya secara konsisten.
Narkoba memang kita masukkan sebagai kejahatan luar biasa. Namun, penanganan atas kejahatan itu masih biasa-biasa saja.
Malah tidak jarang antara penjahat narkoba dan penegak hukum bernegosiasi di ruang-ruang gelap. Tangan-tangan mafia bahkan mampu 'menyulap' para penjahat dan gembong narkoba menjadi 'sekadar' pemakai dan karena logika itu, mereka layak untuk mendapatkan pengampunan.
Pintu-pintu masuk dan keluar bagi penghambat perkembangan narkoba tak pernah benar-benar ditutup rapat. Tidak mengherankan bila para penjahat narkoba bisa lolos entah di penyidikan, pengadilan, kasasi, peninjauan kembali, entah grasi dari presiden.
Sebab lain mengapa narkoba tak pernah signifikan diberantas tuntas ialah negara dan masyarakat bersikap permisif kepada penjahat narkoba. Diizinkannya hakim Iskandar tetap memegang palu hakim meski dia pernah terbukti mengonsumsi narkoba menunjukkan permisifnya negara kepada penjahat narkoba. Grasi presiden bagi Meirika Franola menjadi bukti lain betapa permisifnya negara kepada penjahat narkoba.
Masyarakat terlalu pemaaf dan permisif. Hampir tidak ada sanksi sosial yang berarti kepada para pemadat, terutama pemadat dari kalangan selebritas. Sejumlah pesohor bahkan disambut dengan gegap gempita ketika keluar dari penjara.
Selama pedang hukum majal, selama negara dan masyarakat bersikap permisif, selama itu pula pemberantasan narkoba hanyalah ilusi besar. Pada titik itulah kita hanya menghitung waktu bagi hilangnya generasi. (sumber Metrotvnews.com)
Posting Komentar