RAWA TRIPA, Indonesia (4 Desember 2012). Sebelum mesin berat mulai membuka hutan dan membelah rawa gambut untuk jalan perkebunan kelapa sawit di wilayah barat Indonesia, madu merupakan sumber pendapatan yang menguntungkan dan masyarakat mudah menemukan ikan lele, buah-buahan dan tanaman obat-obatan, ujar warga.
Namun saat ini, nelayan dari Rawa Tripa di Aceh harus berlayar jauh ke hilir, kadang-kadang sampai ke mulut sungai, untuk memperoleh hanya 5 kilogram ikan lele lokan dalam seminggu — dibandingkan 30 sampai 40 kilogram setiap hari hanya beberapa dekade sebelumnya, ujar Suratman, yang tinggal di bagian utara rawa gambut tersebut.
Dengan menghilangnya pohon, penduduk desa hanya memiliki sedikit perlindungan dari matahari khatulistiwa, sehingga persediaan air bersih semakin sedikit. Beberapa orang memperhatikan adanya kehilangan keanekaragaman jenis tanaman dan mengatakan bahwa lebah tidak lagi memiliki tempat untuk membangun sarang.
Ketika para pembuat kebijakan di seluruh dunia mencari cara untuk memperlambat perubahan iklim, banyak perhatian diarahkan pada deforestasi, yang bertanggungjawab untuk emisi gas rumah kaca yang lebih besar daripada yang dihasilkan mobil, truk, pesawat terbang dan kapal secara total.
Lahan gambut — yang semula dianggap sebagai lahan marginal karena kurangnya pemahaman — mulai mendapatkan perhatian setelah penelitian menemukan bahwa rawa-rawa tersebut mengandung sepertiga dari seluruh karbon dalam tanah di dunia.
Namun Daniel Murdiyarso, peneliti senior Center for International Forestry Research (CIFOR), segera menunjukkan bahwa tidak hanya karbon saja yang terkait dalam hal ini.
“Lahan gambut,” ujarnya, “memberikan sejumlah besar jasa bagi masyarakat.”
Gambar dari satelit dari Rawa Tripa yang diambil setahun menunjukkan hanya 13.000 hektar hutan tersisa dari 60.000 hektar yang ada dua dekade sebelumnya, menurut laporan dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), dengan perusakan terbesar terjadi pada lima atau enam tahun terakhir.
Ini merupakan situasi yang berulang di seluruh wilayah Asia Tenggara, yang kehilangan lebih dari 100.000 hektar hutan gambut setiap tahunnya untuk membuka perkebunan kelapa sawit, kayu pulp dan lain-lain, menurut studi CIFOR baru-baru ini.
Walaupun perkebunan-perkebunan tersebut menyediakan lapangan pekerjaan baru, masyarakat setempat mulai memahami bahwa berkurangnya tutupan hutan berarti menghilangnya sumber pendapatan lain yang sebelumnya dapat diandalkan.
Hal ini juga berlaku di tempat-tempat lain.
Pendapatan dari hutan rata-rata merupakan lebih dari seperlima total pendapatan rumah tangga masyarakat pedesaan miskin di seluruh dunia, sementara pendapatan lingkungan (hutan dan non-hutan) menyumbangkan lebih dari seperempatnya, menurut studi CIFOR yang dilaksanakan di bawah bendera Poverty Environment Network.
Survei tersebut dilakukan terhadap sekitar 8.000 rumah tangga di 25 negara.
“Semua akan mati jika (hutan gambut) Rawa Tripa tidak ada lagi di sini, kami tidak punya pilihan lain selain bekerja pada perkebunan kelapa sawit,” kata Tengku Syamsuri, Kepala Desa Ladang Baru, yang berharap pemerintah akan mencari cara untuk membalikkan tren ini sebelum terlambat. “Mungkin nilai ekonomi dari ikan, tanaman dan pohon tidak terlalu besar, namun setidaknya kami dapat mengandalkan mereka.”
Posting Komentar